Blog-blogan

Senin, 22 Juli 2013

3. Memberi = Menerima


Catatan pinggir:

14 Juli 2013 pukul 23:45
Dalam 4 bulan terakhir ini saya sering melihat seorang alumni muda (entah angkatan ke berapa) yang sering silaturahmi ke Turus. Secara pribadi saya tak mengenalnya, saya lebih mengenalnya karena pertemanan pada grup jejaring sosial FB "Turus Lovers dan Forum diskusi alumni iki-iku fasol sawiji". Orangnya kalem dan sering tersenyum, walaupun sifat pemalunya menonjol ketika berhadap dengan orang yang baru dikenalnya. (itu pengamatan saya). Dari informasi yang saya serap dia membiayai adiknya nyantri di Turus. Seorang kakak yang baik.

Bukan hal yang aneh sebetulnya alumni bersilaturahmi ke almamater-nya, namun ada hal yang berbeda yang saya amati dari dia. Setiap dia bersilaturahmi selalu menyempatkan datang ke kantor Aliyah dan Tsanawiyah untuk sekedar ngobrol sebentar dengan gurunya. Sambil tak lupa ngeborong kopi berikut rokok untuk seluruh guru yang ada, (walau ada diantaranya beberapa guru tak dikenalnya) bahkan menyempatkan diri jauh-jauh dari Jakarta membawa buah tangan kue-kue basah yang lezat menurut lidah saya.

Secara teori tak ada istimewa bukan?, namun bil-hal dia sudah mempraktekan nilai-nilai silaturahmi plus berbagi (memberi) yang tidak semua orang gampang melakukannya, apalagi pada orang yang belum lama dikenalnya. Mengapa saya memberikan apresiasi padanya, karena kalau dilihat dari sudut pandang mata saya dia belum begitu sukses, tetapi ia kaya di mata saya. Saya hanya bisa berdo'a semoga cinta Allah selalu menyertai dalam gerak langkahnya, amin.

Bicara memberi ataupun berbagi adalah sebuah perbuatan mulia yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki mental memberi. Dan ini tidak berkaitan dengan finansial semata. Karena banyak orang yang memiliki finansial lebih dari cukup namun berat sekali untuk memberi. Maka jangan kaget kalau anda melihat di kantor pos mereka yang mampu berebut antri mendapatkan BLSM, itu miskin di mata saya.

Mencermati judul Catatan Pinggir saya dengan judul "Memberi sama dengan menerima" ,banyak sekali ayat dalam Al-Qur'an yang menunjukkan bahwa pemberi kebaikan akan menerima kebaikan, bahkan berlipat ganda dan dengan bonus luar biasa. Memberi dalam Islam disebut dengan berbagai istilah. Ada zakat, infak, sedekah, amal saleh, dan lain-lain. Pemberian yang dianggap dalam kategori itu pun beragam, mulai dari harta sampai memberi minum seekor anjing atau memberikan sesungging senyuman. 

Dalam rumusan matematika, bila sesuatu dikeluarkan, sesuatu itu akan berkurang atau dalam istilah Arab tajaffa yang arti harfiahnya adalah mengering. Lima diambil dua, maka tigalah sisanya. Namun apakah ini berlaku untuk konsep memberi yang sesungguhnya? Memberi bisa dilihat dari dua sisi, sisi agama dan psikologis. Dari sisi agama, memberi, khususnya kebaikan, sesungguhnya justru melipatgandakan kebaikan si pemberi. 

Bahkan dalam Alquran disebutkan hitungan-hitungan angka berlipatnya kebaikan. Kebaikan satu akan berbalas 100. Logika memberi tapi tidak mengurangi bisa dijelaskan dengan konsep tasawuftajalli, melimpahnya apa yang dimiliki Tuhan tanpa mengurangi apa yang dimiliki-Nya. Tuhan menciptakan makhluk, memberikan kehidupan kepada mereka, semua itu tidak membuat-Nya kehilangan, tapi justru dengan memberikan limpahan menjadikan-Nya menerima sesuatu yang lain, yaitu terbukanya tabir Tuhan sebagai Tuhan pencipta yang “tersembunyi” (kanz makhfi) sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis Qudsi.

Di sini ada timbal balik, memberi tapi pada saat yang sama menerima. Demikian pula dengan memberikan harta atau bentuk kebaikan lain. Bila kita renungkan, memberikan harta kita dalam Islam dikatakan sebagai menyucikan harta yang dimiliki. Secara teologis pun sudah ditegaskan bahwa tak ada yang “gratisan” ketika mengeluarkan harta. Sesungguhnya itu bukan untuk orang lain, tapi untuk kebaikan diri sendiri.

Perhatikanlah perbedaan air yang menggenang dan yang mengalir. Air yang menggenang apalagi menumpuk diam dalam suatu wadah lama-kelamaan air akan keruh dan menjadi sarang bibit nyamuk yang bisa membawa penyakit demam berdarah, ditambah lagi baunya tak sedap. Tapi lihatlah air yang mengalir.

Dia sebaliknya bukan saja lebih bersih, melainkan juga membersihkan kotoran-kotoran yang dilewatinya dan tidak berbau. Pantaslah ada pepatah Arab yang berbunyi, inni ra’aytu wuquf al ma’ yufsiduhu in saala thaba wa’in lam yajri lam yathib, artinya sesungguhnya aku saksikan air yang berhenti itu menjadi keruh dan jika mengalir dia akan jernih. 

Alirkanlah apa yang dimiliki kepada orang lain, niscaya itu akan membawa kebaikan bukan hanya pada orang lain, tapi juga kepada dirimu sendiri. Perhatikanlah matahari dan bulan, malam dan siang, kaya dan miskin, senyap dan riuh. Masing-masing seakan tak berhubungan dan berbeda, bahkan seakan-akan yang satu lebih tinggi atau penting daripada yang lain. Tapi apakah ada siang tanpa malam? Apakah ada kaya tanpa miskin? Apakah ada riuh tanpa senyap? Apakah ada garis lurus tanpa lengkung? Tak ada.Yang satu berutang pada yang lain dan harus berterima kasih satu sama lain. 

Dengan demikian apakah ada alasan untuk merendahkan satu di atas yang lain? Mungkin saja siang mengklaim dia lebih berjasa daripada malam karena telah memberi kesempatan kepada manusia dan makhluk hidup untuk mencari penghidupan. Tapi jangan lupa bahwa tanpa malam, manusia tak akan ada kesempatan untuk merebahkan diri beristirahat untuk menyongsong esok siang.

Sang kaya mungkin akan berbangga bahwa dialah yang paling mulia karena memberi dan menyantuni, tapi jangan lupa tanpa mereka yang disebutnya miskin, dia pun takkan bisa apa-apa. Bahkan tanpa mereka, siapa yang akan menyebut mereka “kaya”?.

Karenanya, memberi sesungguhnya adalah menerima.


......diam-diam,  saya belajar banyak darinya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar